Wednesday, April 25, 2012

Paradoks Kasus Kebebasan Berpendapat

Paradoks Kasus Kebebasan Berpendapat

Beberapa waktu lalu suasana kebebasan berpendapat di era reformasi ini mendapat gangguan. Ada seorang Prita Mulyasari yang dilaporkan oleh sebuah Rumah Sakit Internasional karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik. Pasalnya Prita hanya “curhat” melalui mailing list-nya bahwa dia tidak mendapatkan pelayanan yang memadai dari rumah sakit tersebut.

Keluhan yang tersebar di teman-teman Prita melalui e-mail inilah dianggap oleh pihak rumah sakit sebagai pencemaran nama baik. Pasal yang dikenakan selain Pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana) juga UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pihak rumah sakit tentu tidak pernah membayangkan bahwa kasus ini membuat heboh dan Prita mendapatkan dukungan besar dari masyarakat. Dukungan tidak hanya dalam bentuk mengecam kebebasan berpendapat tapi juga dukungan materil dalam bentuk pengumpulan “koin untuk Prita”.

Ini membuktikan bahwa kebebasan berpendapat jangan coba ditakut-takuti dengan ancaman hukuman. Oleh karena kebebasan berpendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang fundamental. Selain memperoleh pengakuan secara internasional melalui Deklarasi Universal HAM (DUHAM) Tahun 1948 atau Universal Declaration of Human Right. Juga secara nasional Indonesia sangat tegas mencantumkan penghargaan kebebasan berpendapat dalam UUD 1945.

Selain itu di berbagai instrumen seperti UU Pers (UU No 49 Tahun 1999). Oleh karena kebebasan berpendapat merupakan ruh dari kebebasan pers. Bebas untuk mencari, mengola dan menulis serta menyampaikan berita melalui media cetak atau elektronik serta media online (internet) sekalipun.

Seharusnya UU Pers ini harus menjadi acuan bagi UU yang lahir di kemudian hari, seperti UU ITE. Kebebasan berpendapat menjadi paradoks ketika instrumen internasional (DUHAM), UUD 1945 serta UU Pers menjamin, kemudian ada UU yang lahir setelahnya mengebiri kebebasan berpendapat itu.

Fenomena kasus Prita menjadi sebuah contoh bahwa masih banyak masyarakat yang belum memahami esensi kebebasan berpendapat bagian dari HAM. Alih-alih masyarakat aparat penegak hukum pun terkadang masih belum memahami sehingga tidak heran kalau banyak kasus pers yang di bawah ke ranah hukum pidana dengan melaporkannya ke polisi.

Padahal sudah sangat jelas diatur dalam UU Pers bahwa orang yang dirugikan dengan sebuah pemberitaan sebaiknya mengajukan hak jawab (Pasal 5 UU Pers). Konsekuensi pers yang tidak melayani hak jawab ini, maka dikenakan sanksi berupa denda sebesar lima ratus juta rupiah (Pasal 18 UU Pers).

Dengan demikian segala bentuk pelanggaran hukum yang terkait dengan pekerjaan pers yang melaksanakan ruh kebebasan berpendapat harus diselesaikan melalui UU Pers. Oleh karena secara formal UU Pers sudah dapat dikategorikan sebagai lex specialis dari KUH Pidana. Termasuk kebebasan berpendapat di dunia virtual (internet). Itulah juga sebabnya sehingga kasus yang menimpa Prita ditentang oleh kalangan pers, karena pihak rumah sakit menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Pasal dalam UU ITE ini dianggap sebagai salah satu pasal yang bertentangan dengan esensi kebebasan berpendapat.

Kebebasan berpendapat menjadi paradoks lagi, ketika kalangan infotainment mengadukan artis Luna Maya melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE karena dianggap melalukan pencemaran nama baik melalui virtual twitter. Sungguh sangat paradoks, karena kalangan jurnalis lain sangat menentang penggunaan pasal itu malah sekelompok yang juga menamakan dirinya sebagai jurnalis malah melaporkan Luna Maya melanggar pasal tersebut.

Dengan kasus ini memberikan pelajaran ternyata bukan hanya masyarakat atau aparat penegak hukum saja yang perlu dicerahkan, tapi ternyata sebagian jurnalis (terutama yang mengelola media infotainment juga perlu diberikan pemahaman. Hal ini perlu untuk menyamakan persepsi bahwa kebebasan berpendapat melalui media (cetak, elektronik dan internet) merupakan hal yang mutlak dihargai dan dilindungi. Semoga di kemudian hari tidak ada lagi peristiwa yang terkait dengan kebebasan berpendapat dilapor ke polisi dengan alasan apapun, termasuk pencemaran nama baik. 


sumber :
http://majalahversi.com/kolom/paradoks-kasus-kebebasan-berpendapat

No comments:

Post a Comment