Friday, July 4, 2014

Potensi Dan Prospektif Waralaba Di Bidang TI

Potensi Dan Prospektif Waralaba Di Bidang TI



Waralaba
Definisi waralaba menurut Menperindag
Waralaba menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan  Republik Indonesia No. 259/MPR/Kep/7/1997 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, yaitu waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dalam rangka menyediakan dan atau penjualan barang dan jasa.
Pengertian waralaba menurut PP RI No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba, (Revisi atas PP No. 16 Tahun 1997 dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 259/MPR/Kep/7/1997 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba), waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti hasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Definisi menurut para ahli
Sejumlah pakar juga ikut memberikan definisi terhadap waralaba.
Campbell Black dalam bukunya Black’’s Law Dict menjelaskan franchise sebagai sebuah lisensi merek dari pemilik yang mengijinkan orang lain untuk menjual produk atau service atas nama merek tersebut.
David J.Kaufmann memberi definisi franchising sebagai sebuah sistem pemasaran dan distribusi yang dijalankan oleh institusi bisnis kecil (franchisee) yang digaransi dengan membayar sejumlah fee, hak terhadap akses pasar oleh franchisor dengan standar operasi yang mapan dibawah asistensi franchisor.
Sedangkan menurut Reitzel, Lyden, Roberts & Severance, franchise definisikan sebagai sebuah kontrak atas barang yang intangible yang dimiliki oleh seseorang (franchisor) seperti merek yang diberikan kepada orang lain (franchisee) untuk menggunakan barang (merek) tersebut pada usahanya sesuai dengan teritori yang disepakati.
Definisi Secara Umum
Definisi waralaba secara umum dapat diartikan sebagai pengaturan bisnis yang memiliki perusahaan (pewaralaba atau franchisor) memberi/menjual hak kepada pihak pembeli atau penerima hak (terwaralaba atau franchisee) untuk menjual produk dan atau jasa perusahaan pewaralaba tersebut dengan peraturan dan syarat-syarat lain yang telah ditetapkan oleh pewaralaba.
Definisi waralaba lainnya adalah suatu strategi sistem, format bisnis, dan pemasaraan yang bertujuan untuk mengembangkan jaringan usaha untuk mengemas suatu produk atau jasa. Waralaba juga dapat pula diartikan sebagai suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi keinginnan atau kebutuhan konsumen yang lebih luas.
Franchising adalah suatu sistim pemasaran berkisar tentang perjanjian dua belah pihak, dimana terwaralaba menjalankan bisnis sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh pewaralaba. Franchising dapat pula berarti sistem pemasaran yang melibatkan dua belah pihak yang terikat perjanjian, sehingga usaha waralaba harus dijadikan sesuai dengan aturan-aturan dari pewaralaba.
Beberapa istilah berkaitan dengan usaha waralaba
~Franchise Contract adalah perjanjian hukum antara pewaralaba dengan terwaralaba
~ Franchise adalah hak-hak istimewa yang diatur dalam perjanjian waralaba.
~Franchisee (terwaralaba) adalah pihak yang mendapatkan hak untuk menjalankan usaha waralaba yang kekuasaannya dibatasi berdasarkan perjanjian dengan pewaralaba.
~Franchisor (pewaralaba) adalah pihak yang memiliki bisnis dan penjual hak waralaba kepada terwaralaba. Pewaralaba adalah pihak didalam kontrak waralaba yang menentukan sistem untuk diikuti dan syarat-syarat yang disepakati oleh pihak lain yang terlibat.
Waralaba di Indonesia
Di Indonesia, sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchisee tidak sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi produknya. Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baik bagi franchisor maupun franchisee. Karenanya, kita dapat melihat bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang jelas, waralaba berkembang pesat, misalnya di AS dan Jepang. Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum dalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut[13]:
  • Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
  • Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba
  • Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
  • Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
  • Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

Monday, May 26, 2014

Proses Alih teknologi di indonesia

Kondis alih teknologi di indonesia
 
Secara sederhana, konsep alih teknologi dapat diartikan sebagai salah satu cara untuk memperoleh kemampuan teknologi, di mana saluran yang dapat dipakai juga bermacam-macam. Sebagai contoh: alih teknologi dapat dilakukan dengan cara penanaman modal asing, memalui berbagai perjanjian bantuan teknis dan manajerial, melalui tukar-menukar tenaga ahli, melalui buku-buku, dan sebagainya.
Konsep alih teknologi dipahami secara berbeda-beda, seperti juga konsep kemampuan teknologi. Santikar (1981) menunjukkan bahwa ada empat macam konsep alih teknologi, di mana masing-masing konsep membutuhkan kemampuan teknologi dan pendalaman teknologi yang berbeda-beda. Keempat konsep alih teknologi tersebut adalah:
1. Alih teknologi secara geografis. Konsep ini menganggap alih teknologi telah terjadi jika teknologi tersebut telah dapat digunakan di tempat yang baru, sedangkan sumber-sumber masukan sama sekali tidak diperhatikan.
2. Alih teknologi kepada tenaga kerja lokal. Dalam konsep ini, alih teknologi terjadi jika tenaga kerja lokal sudah mampu menangani teknologi impor dengan efisien, yaitu jika mereka telah dapat menjalankan mesin-mesin, menyiapkan skema masukan-keluaran, dan merencanakan penjualan.
3. Transmisi atau difusi teknologi. Dalam konsep ini, alih teknologi terjadi jika teknologi menyebar ke unit-unit produktif lokal lainnya. Hal ini dapat terjadi melalui program sub-contracting atau usaha-usaha diseminasi lainnya.
4. Pengembangan dan adaptasi teknologi. Dalam konsep ini, alih teknologi baru terjadi jika tenaga kerja lokal yang telah memahami teknologi tersebut mulai mengadaptasinya untuk kebutuhan-kebutuhan spesifik setempat ataupun dapat memodifikasinya untuk berbagai kebutuhan. Pada kasus-kasus tertentu yang dianggap berhasil, tenaga kerja lokal dapat mengembangkan teknik-teknik baru berdasarkan teknologi impor tadi.
Berdasarkan konsep-konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan teknologi masyarakat mencapai taraf optimal, jika alih teknologi sudah sampai pada konsep yang keempat, yang dikenal dengan istilah reverse engineering. Untuk kasus-kasus negara berkembang, seperti Indonesia, dengan menyadari adanya berbagai keterbatasan maka alih teknologi dapat dikatakan berhasil jika konsep yang ketiga bisa dicapai, yaitu adanya transmisi atau difusi teknologi.
Jika dilihat prosesnya, alih teknologi dapat dilihat sebagai suatu proses yang dimulai sejak dari kontak awal penerima dengan pemilik teknologi; dilanjutkan dengan negosiasi terutama untuk mengatasi berbagai hambatan yang disebabkan oleh perbedaan sosial budaya antara pemilik dan penerima teknologi; kemudian tahap implementasi; serta proses umpan balik dan pertukaran yang terjadi terus-menerus, sampai hubungan antara pemilik dan penerima teknologi baru terputus.
Oleh karena itu, diperlukan pula jaringan alih teknologi baik secara intrainstitusional maupun interinstitusional. Jaringan tersebut dimaksudkan untuk membentuk dinamika belajar (dynamic learning) melalui belajar sambil bekerja (learning by doing), belajar sambil memakai (learning by using), dan belajar sambil saling berhubungan (learning by interacting). Kesemuanya itu merupakan jalur cepat berikutnya untuk meningkatkan produktivitas ke arah standar yang lebih tinggi secara terus-menerus.
Cara lain untuk alih teknologi adalah melalui inovasi terus-menerus (continious innovation) dalam hal produk dan proses produksi. Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana membentuk sistem intrainstitusi dan interinstitusi yang dibutuhkan sehingga dapat tercipta learning by interacting dalam setiap kegiatan ekonomi yang mampu menghasilkan perubahan inkremental dalam produk maupun proses produksi, betapapun kecilnya perubahan tersebut.
Di lain pihak, permasalahan yang seringkali diangkat adalah bagaimana proses penerapan temuan teknologi atau alih teknologi dilakukan ? Faktor-faktor apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam usaha penerapan temuan teknologi maupun upaya melakukan alih teknologi ?
Saat ini, yang dimulai sejak sekali 1980-an, konsep prosedur pengkajian teknologi untuk melihat faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam proses alih teknologi, yang dianjurkan dan diminati lebih mengarah pada pengkajian yang sifatnya terpadu, yaitu menyangkut tidak saja pada pengembangan teknologi (technology development), tetapi juga penilaian/evaluasi teknologi (technology evaluation) serta penilaian dan pengolaan teknologi (technology assessment and management) (Burge, 1993). Tahapan tersebut pada intinya terdiri dari tiga tahapan pokok, yaitu:
Tahap 1. Pengembangan teknologi
  1. Penilaian kebutuhan
  2. Pengembangan rancangan teknis
Tahap 2. Penilaian teknologi
  1. Ketepatan teknologi dari perspektif teknologi
  2. Ketepatan teknologi dari perspektif sosial/institusional
Tahap 3. Penilaian dampak dan Pengelolaan teknologi
  1. Penilaian dampak
  2. Pemantauan dampak dan pengelolaannya
Berdasarkan tiga tahapan tersebut, pertimbangan yang selanjutnya dilakukan dalam pengambilan keputusan baik untuk pengembangan, penerapan ataupun pengalihan teknologi adalah keterpaduan antara pertimbangan teknis, ekonomi, sosial maupun lingkungan yang melihat seberapa jauh pranata-pranata dalam masyarakat dapat menerima teknologi yang dimaksud. Bahkan dalam tahap pertama pun diharapkan adanya pertimbangan mengenai pandangan stakeholders dan masyarakat pada umumnya mengenai kebutuhan akan suatu teknologi tertentu.
Permasalahan yang akan muncul adalah seberapa jauh ketentuan normatif tersebut, yang dianjurkan oleh lembaga internasional, telah dan dapat dilaksanakan di dalam pertimbangan penerapan maupun alih teknologi? Dalam hal ini diperlukan kerja sama dan koordinasi antara berbagai institusi yang terkait, sehingga berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan dan aspek-aspek yang akan mempengaruhi proses alih teknologi dapat dibicarakan dan dicarikan solusinya secara sinergis, dan pada akhirnya alih teknologi dapat berjalan melalui proses akselerasi secara efektif dan efisien sebagaimana yang diharapkan.
Peranan Teknologi dan Permasalahannya
Sebagai negara berkembang, Indonesia menghadapi dimensi baru dalam persaingan internasional yang berkaitan erat dengan laju perkembangan teknologi yang makin pesat dan persaingan industri yang makin tajam. Perkembangan teknologi (technological progress) telah disadari mampu memberikan keuntungan ekonomi, sehingga negara-negara berkembang berusaha untuk mengembangkan potensinya untuk menyerap, mengadakan dan mengimplementasikan teknologi.
Betapa pentingnya peranan teknologi dalam perjalanan suatu bangsa ditunjukkan oleh keberhasilan industrialisasi di negara-negara maju dan NIEs (Newly Industrializing Economics). Dalam kasus NIEs seperti Korea Selatan, Taiwan atau Singapura, keberhasilan mereka dalam beralih dari strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor dengan mengandalkan pada produk akhir dan padat karya ke produk-produk yang lebih canggih, berlangsung sejalan dengan peningkatan kapabilitas teknologi yang terarah serta dengan landasan yang kokoh dan lebih merata (Pangestu dan Basri, 1995).
Pengalaman di beberapa negara juga menunjukkan bahwa peningkatan kapabilitas teknologi berlangsung secara bertahap. Pengertian bertahap di sini lebih mengacu pada kematangan dalam menjalani setiap tahap, yang sekaligus menjamin kesiapan dan landasan yang kokoh untuk memasuki tahapan lebih lanjut. Salah satu yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan social absorption capacity dari suatu bangsa/masyarakat menghadapi proses transformasi, yang meliputi antara lain: aspek sosiokultural, kesiapan sumber daya manusia, aspek kelembagaan, dan kesiapan birokrasi (Pangestu dan Basri, 1995; Sutrisno, 1994; Thee, Jusmaliani dan Indrawati, 1995). Faktor lainnya adalah kesiapan infrastruktur dalam arti yang luas, meliputi tidak hanya infrastruktur fisik melainkan juga infrastruktur pemasaran, infrastruktur kuangan, kapabilitas informasi, kapabilitas teknologi, dan sebagainya.
Kebijakan pemerintah Indonesia juga mengindikasikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi sangat diperlukan untuk menumbuhkan daya saing bangsa dalam memproduksi barang dan jasa, yang berbasis sumber daya lokal, yang pada gilirannya akan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara nyata dan berkelanjutan (sustainable). Hal tersebut antara lain tercermin dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, di mana pembangunan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dilakukan melalui empat program nasional, yang meliputi (1) Iptek dalam dunia usaha, (2) diseminasi informasi iptek, (3) peningkatan sumber daya Iptek, serta (4) kemandirian dan keunggulan Iptek.
Komitmen tersebut diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2002, tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas IPTEK). Undang-Undang ini mewajibkan pemerintah untuk memperhatikan: (1) upaya penguatan dan penguasaan ilmu-ilmu dasar, ilmu pengetahuan dan teknologi strategis, serta peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan; (2) penguatan dan penguasaan ilmu-ilmu sosial dan budaya, yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi, untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi; serta (4) penguatan tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Persoalannya kemudian adalah sampai saat ini masih banyak kegiatan produktif masyarakat yang memerlukan dukungan iptek, baik yang berskala kecil, menengah atau besar, belum bisa dipenuhi secara optimal. Operasional lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah (seperti LIPI, BPPT, BATAN, LAPAN, LEN dan lain-lain), perguruan tinggi (seperti ITB, UI, UGM, UNPAD,dan lain-lain), ataupun industri/perusahaan swasta memang sudah lama berjalan, tetapi belum menunjukkan peran dan fungsi yang optimal dalam mengembangkan dan memanfaatkan teknologi bagi aktivitas pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Beberapa kajian menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi seperti itu, antara lain:
Pertama, alih teknologi tidak berjalan lancar dan lebih terbatas pada kemampuan operasional karena lemahnya pengembangan sumber daya manusia. Hal tersebut menyebabkan terbatasnya: kemampuan memperoleh dan mengalihkan teknologi yang telah dipilih, kemampuan menyesuaikan (mengadaptasi) teknologi tersebut sesuai dengan keadaan setempat, dan kemampuan melatih masyarakat dalam penggunaan teknologi tersebut.
Kedua, kegiatan penelitian dan pengembangan dalam arti yang sebenarnya tidak atau sangat sedikit dilakukan, yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan inovatif berbagai lembaga litbang baik pemerintah, perguruan tinggi maupun industri. Sebagai contoh, kegiatan litbang industri (perusahaan manufaktur) pada umumnya terbatas pada kegiatan uji coba bahan baku atau pengendalian mutu, dan tidak memperhatikan perubahan–perubahan pada sisi permintaan/pasar.
Ketiga, kemampuan teknologi berbagai lembaga litbang sebagian besar baru terbatas pada kemampuan investasi, produksi dan beberapa perubahan kecil, sedangkan kemampuan pemasaran masih sangat lemah atau hampir tidak ada. Hal tersebut menyebabkan produk-produk yang dihasilkan lembaga litbang tidak populer di masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan faktor keempat, yaitu tidak adanya keterkaitan yang jelas antara berbagai lembaga litbang serta antara berbagai kelompok potensial dalam masyarakat dapat dimanfaatkan sebagai unit antara (intermediate institution), yang dapat berperan dan berfungsi strategis dalam menjembatani kebutuhan dan tuntutan konsumen/pasar dengan keberadaan dan kemampuan lembaga litbang sebagai produsen iptek.
Dalam hal diseminasi iptek hasil litbang, keberadaan unit-unit antara (intermediate institution), seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), suplier swasta, instansi teknis terkait, ataupun konsorsium yang dibentuk oleh msyarakat, pemerintah dan swasta, sangat penting dan berguna baik sebagai unit teknis praktis maupun sebagai fasilitator. Dengan kata lain, unit-unit antara mempunyai peran dan fungsi yang strategis dan potensial dalam membantu proses diseminasi iptek hasil litbang secara aktual dan berkelanjutan. Dengan pendekatan matching programme antara simpul-simpul iptek dan unit-unit bisnis diharapkan muncul sinergi baru, yang dapat meningkatkan akselerasi aliran (diseminasi) iptek, serta terjadinya solusi terarah (focusing solution) kepada persoalan langsung kebutuhan pengguna dan penghasil iptek.
Perlunya Intervensi Dalam Difusi Teknologi
Inovasi menjadi aspek yang teramat penting dalam kondisi persaingan yang semakin kompetitif. Inovasi juga menjadi suatu hal yang strategis ketika kevakuman serta rutinitas menjadi fenomena umum dalam sistem kerja. Inovasi sangat berati ketika tingkat produktivitas usaha menjadi hal yang mendasar bagi terbangunnya kemampuan persaingan. Inovasi akan terasakan maknanya ketika proses difusi absorpsi menjadi mekanisme rutin terjadi dalam sistem inovasi. Dengan demikian difusi inovasi sebagai sustu proses transfer of knowledge menjadi suatu hal yang esensi dalam mendorong percepatan tumbuhnya perekonomian dan kesejahteraan nasional.
Berbagai insiatif program pemerintah telah banyak di dilakukan untuk melakukan kegiatan difusi dimaksud. Inisiatif dan program dimaksud ditujukan untuk meningkatkan kapasitas produksi dunia usaha dan industri didasarkan pada absorpsi produk litbang. Difusi inovasi menjadi suatu yang sangat penting dan diperlukan keterlibatan pemerintah dalam mendorong prosesnya.
Walaupun masalah difusi inovasi ini telah banyak dibahas diberbagai kesempatan, baik dalam bentuk kajian maupun seminar, difusi inovasi tetap menjadi suatu tema yang cukup aktual dibahas, terutama ketika ditengarai kondisi iklim inovasi masih belum berkembang di negeri ini. Hal tersebut terlihat dari kondisi dunia usaha yang masih mencari suatu instant teknologi dalam mendorong produktivitas usahanya dibandingkan dengan kebutuhan mengembangkan litbangnya. Di sisi lain keberadaan produk litbang yang dihasilkan oleh berbagai lembaga litbang dan perguruan tinggi belum dapat dijadikan andalan dunia usaha mauapun industri dalam proses produksinya.
Alasan klasik mengapa pemerintah perlu melakukan intervensi dalam mendorong terjadinya difusi inovasi adalah karena terjadinya kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar tersebut terkait dengan adanya ketidaksinkronan antara kebutuhan (need requirement) inovasi dari pihak industri dan dunia usaha dengan produk yang dihasilkan oleh berbagai lembaga litbang. Kondisi tersebut antara lain diakibatkan adanya kelemahan dalam perilaku organisasi, kemampuan sumberdaya manusia maupun kapasitas manajerial. Akses informasi terhadap teknologi juga menjadi alasan terjadinya kegagalan pasar ini. Akibat kondisi tersebut memunculkan macetnya sistem transaksi dan ujungnya iklim inovasi menjadi mandeg.
Alasan lain adalah perlunya intervensi kebijakan dalam prooses difusi adalah kegagalan ‘sistemic’ yang diakibatkan kelemahan dalam keterkaitan (linkage) serta interaksi (interaction) antara berbagai aktor dalam sistem inovasi. Dengan kondisi tersebut ketergantungan fungsional antar berbagai elemen/aktor sistem inovasi tidak terbangun menjadi suatu proses sinergitas. Adanya kegagalan pasar dan kegagalan “sistemic” tersebut dapat membatasi pengembangan kapasitas absorptif dunia usaha dan industri atau secara umum mengurangi kemampuan industri dan dunia usaha dalam melakukan identifikasi, akses dan penggunaan teknologi.
Alasan lain perlunya dukungan difusi inovasi produk litbang menjadi fokus kebijakan pemerintah adalah untuk memaksimalkan investasi terutama melihat pengembalian investasi (return of investmen/ROI) dari kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang). Berbagai upaya untuk menunjukkan pengembalian pengeluaran biaya litbang juga merefleksikan program yang dibutuhkan untuk mendukung proses pembiayaan yang sedang berjalan. Adanya persaingan di bidang industri dan teknologi, pengembangan ekonomi regional, stabilitas dalam percaturan bisnis dan “job creation” merupakan alasan lain perlunya intervensi kebijakan di bidang difusi inovasi terutama dalam bentuk program disfusi teknologi berorientasi pengguna (demand driven). Dengan memahami berbagai alasan tadi sekaligus dalam rangka memperbaiki kegagalan pasar dalam mengakses informasi, intervensi kebijakan dapat lebih ekstensif dan komperehensif.

Peranan Komunikasi dalam Difusi Teknologi

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa iptek belum secara optimal dimanfaatkan dalam kegiatan perekonomian masyarakat, khususnya pada sektor usaha tradisional berskala kecil dan menengah termasuk usaha-usaha yang dilakukan IKM/UKM.
Salah satu faktor yang menjadi kendala adalah belum terfokusnya pemanfaatan dan penyebaran informasi (diseminasi) iptek pada sasarannya. Aspek penyebaran informasi/komunikasi memegang peranan penting untuk tercapainya proses adopsi iptek pada masyarakat. Proses adopsi tersebut terutama menyangkut pengemasan produk iptek yang berorientasi kebutuhan masyarakat konsumen; metode diseminasi yang digunakan; dan optimalisasi simpul-simpul iptek. Hal-hal tersebut dilakukan masih dalam kapasitas terbatas oleh produsen iptek, yakni lembaga-lembaga penelitian (lemlitbang) dan perguruan tinggi.
Untuk melihat pemanfaatan iptek di masyarakat, terutama masyarakat IKM/UKM, dapat dirujuk proyek percontohan kebijakan penyebaran iptek di daerah yang telah menerima program iptekda. Namun demikian, pengaruh dari program tersebut sampai saat ini belum menunjukkan adanya peningkatan produktivitas yang berbasis pada pemanfaatan iptek secara optimal.
Aspek lain yang perlu dikaji secara mendalam adalah peran pemerintah daerah sebagai fasilitator untuk memperlancar arus komunikasi dan penyebaran informasi iptek (diseminasi), ternyata masih rendah. Hal ini disebabkan oleh tingkat kapabilitas lembaga tersebut kurang memadai serta belum optimalnya intensitas komunikasi pada proses pendampingan dan pembinaan program iptekda tersebut. Padahal pemerintah daerah dapat berperan dalam menentukan sarana dan prasarana melalui berbagai kebijakan yang dibuatnya untuk menciptakan arus komunikasi yang memadai.
Kendala lain dalam proses difusi inovasi iptek oleh masyarakat /IKM adalah: (1) rendahnya tingkat kemampuan dan keterampilan SDM yang berperan dalam proses difusi inovasi; (2) terbatasnya informasi pusat-pusat iptek akibat lemahnya pola dan jaringan komunikasi serta penyebarannnya di masyarakat; serta (3) sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mendukung proses diseminasi iptek belum memadai.
Dalam hal ini komunikasi memiliki peran yang sangat penting; tidak mungkin terjadi proses inovasi tanpa komunikasi. Hadiat (2002) mengungkapkan fungsi komunikasi dalam sistem inovasi nasional, bahwa sebuah sistem tidak bisa lepas dari aspek-aspek yang terkait dengan pola interaksi, relationship dan linkage, di mana komunikasi menjadi instrumen proses utamanya. Komunikasi dan informasi bukan saja berperan sebagai fungsi yang memungkinkan proses internal sebuah elemen berjalan, tetapi juga mempersambungkan jejaring yang dibentuk elemen-elemen sistem tersebut.
Ljunberg (1982 dalam Gogor Nurharyoko, 2002), melihat peran komunikasi dan inovasi sebagai keseluruhan pada suatu rangkaian proses inovasi yang dianggap suatu jaringan yang kompleks dari alur komunikasi yang menghubungkan tahap-tahap dari proses inovasi tersebut. Kemudian Fischer et.al (1977) menyatakan bahwa komunikasi sebagai suatu proses pengambilalihan (handling-over) dari paket informasi dari suatu pihak ke pihak lainnya. Brown dan Eisenhardt (1995) juga menyatakan bahwa komunikasi terstruktur (structured communication) merupakan satu prasyarat yang menentukan dalam komunikasi internal maupun eksternal untuk keberhasilan suatu proses inovasi. Michael Gibbons et.al (1997) menyatakan bahwa ada dua unsur penting dalam sistem komunikasi dalam proses inovasi, yakni mobilitas dan selektivitas. Mobilitas adalah proses komunikasi antarpeneliti dalam konteks di mana peneliti tersebut selalu berpindah dari satu situs penelitian ke situs penelitian yang lain. Pada unsur ini, komunikasi yang dilakukan dapat memberikan suatu pembentukan ide-ide baru yang sangat berguna dalam mengkreasikan inovasi baru. Intensitas komunikasi selama mobilitas tersebut berbanding lurus dengan semakin besarnya kesempatan untuk dihasilkannya inovasi-inovasi baru. Unsur selektivitas adalah diperlukannya suatu proses dalam berkomunikasi, di mana para pelaku dapat menentukan dengan baik masalah yang akan dipecahkan dalam suatu skala prioritas yang tepat ( Nurharyoko, 2002).
Selanjutnya, Ulijn (2000) menambahkan unsur ketiga, refleksivitas, yaitu perlunya diperhatikan kompetensi dari para pelaku proses komunikasi dalam inovasi tersebut, dari konteks refleksinya dengan kultur. Misalnya, satu kompetensi dalam bidang komunikasi tertentu pada suatu kultur tertentu, bisa dianggap kurang kompeten pada kultur yang berbeda.
Pada transformasi informasi dari suatu proses inovasi, menurut Stuart Macdonald (1992) dalam Nurharyoko (2002) menyatakan bahwa kondisi ketika informasi itu dibentuk (generated) oleh satu sumber informasi, bisa jadi berbeda kondisinya (circumstance) dengan kondisi ketika informasi tersebut diterima oleh penerima. Perbedaan ini merupakan kendala besar dalam menerjemahkan secara tepat kandungan informasi tersebut, oleh karenanya diperlukan suatu saluran komunikasi (communication channel) yang terstruktur sedemikian rupa sehingga dapat mempermudah penerima informasi dalam menginterpretasikan kandungan informasi yang disampaikan lewat proses komunikai tersebut.
Peran komunikasi dalam sistem inovasi amat penting karena inovasi secara hakiki adalah jaringan kompleks dari sejumlah alur komunikasi yang menghubungkan tahap-tahap dari proses inovasi (Ljunberg, 1982, dalam Gogor Nurharyoko, 2002: 1). Lebih dari itu, komunikasi terstruktur (structured communication) merupakan sebuah prasyarat yang menentukan dalam komunikasi internal dan eksternal untuk keberhasilan proses inovasi.
Sedemikian penting peran komunikasi dalam inovasi, “kepadatan komunikasi” (communication-density) merupakan suatu variabel kunci dalam proses inovasi yang berhasil. Peningkatan kerapatan/kepadatan komunikasi merupakan indikasi bagi peningkatan difusi isi yang dikomunikasikan yang diyakini akan meningkatkan kondusivitas bagi terjadinya inovasi baru.
Bahkan karakteristik dari jenis komunikasi yang terjadi diidentifikasi berbeda dalam setiap tahapan inovasi (Butler, 1997, dalam Gogor, 2002: 2). Untuk tahapan spekulasi (speculation research) karakteristik dari jenis komunikasi yang terjadi adalah:
(1) Komunikasi personal antarpeneliti yang sangat tergantung keberhasilannya dengan keterampilan tak teraba (tacit) dari peneliti yang terlibat;
(2) Struktur komunikasi biasanya nonformal dan fleksibel. Untuk tahapan eksploitasi (exploitative research) karakteristik dari jenis komunikasi yang terjadi biasanya lebih spesifik, terjadi proses dimana keterampilan tak teraba mulai ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih jelas dan spesifik, dan struktur komunikasi bergeser ke bentuk yang lebih formal.
(3) Tahap eksploitasi (exploratory research) karakteristik dari jenis komunikasi yang terjadi adalah komunikasi sudah sampai pada tahap sangat spesifik dan langsung berorientasi pada pencapaian sasaran yang jelas, segala hal yang sifatnya tak teraba (tacit) sudah seluruhnya bisa ditransformasikan ke bentuk yang spesifik dan bisa dialihkan (transferable) ke seluruh pihak yang terlibat dalam proses inovasi, dan struktur komunikasi sudah sangat formal, lebih terbatas, dan kaku (rigid)
Hal tersebut di atas akan terwujud jika terjadi kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning), maka komunikasi dalam proses inovasi harus memenuhi beberapa persyaratan, terutama adanya “trust atau sikap percaya” dari khalayak. Para komunikatornya pun harus melek huruf secara sosial – psikologis – kultural” (socially, psychologically, and culturally literate).
Beberapa prinsip manajemen komunikasi dan inovasi yang penting guna mempercepat pemapanan sistem inovasi nasional adalah sebagai berikut (Santoso S. Hamijoyo, 2002: 4):
a. Lembaga riset-inovasi harus benar-benar menjadi salah satu pranata sosial yang memiliki kewibawaan nasional, sama wibawanya dengan misalnya, pranata politik, keamanan, keuangan, perdagangan.
b. Meraih posisi atau mereposisi diri sebagai prioritas nasional dengan fokus kegiatan strategis yang spesifik (tegas) dengan menerapkan kriteria keberhasilan secara konsekuen.
c. Menentukan dan memelopori terobosan-terobosan baru iptek-inovasi dalam bidang-bidang ekonomi, perdagangan, industri nasional, dengan tujuan selain meningkatkan pangsa pasar (market share) juga menguasai pangsa peluang (opportunity share).
d. Secara jujur dan berani mengevaluasi diri menemukan landasan untuk mengadakan reformasi manajemen guna mengantisipasi tugas-tugas menurut persyaratan-persyaratan baru yang diperkirakan. Salah satu sasaran utama ialah penyegaran dan perbaikan SDM, meningkatkan efisiensi dan kinerja dengan menekan “overhead cost” yang menekan biaya pengembangan, organisasional dan rekayasa.
e. Mencegah apa yang dikalangan reformis manajemen bisnis sebagai “genetical inbreeding”, yang mematikan keberanian berinovasi dengan mengganti para pengelola dan pelaku riset yang sudah terlalu lama mangkal dalam bidang-bidang riset yang sama.
f. Membangun kemitraan antar lembaga riset inovasi untuk secara sinergis menghimpun modal intelektual, mencegah berulang-ulangnya riset inovasi yang sudah pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya, dan mempercepat transformasi industri, teknologi, perdagangan, dan sektor-sektor lain.
g. Inovasi dan penyebarannya secara berhasil biasanya diprakarsai dan dikelola oleh pimpinan yang kuat, berwibawa, imajinatif, dan bersemangat wira usaha.
Sejalan dengan perubahan tahapan dan kegiatan litbang yang disertai dengan perubahan jenis komunikasi yang semula bersifat luwes dan informal ke arah komunikasi yang lebih terstruktur, spesifik dan kaku maka persoalan yang kerap muncul adalah berbedanya kondisi ketika informasi dihasilkan dan saat ia diterima khalayak. Perbedaan kondisi tadi dapat menjadi kendala dalam menerjemahkan secara tepat kandungan informasi. Untuk mengatasinya, demikian Mcdonald (1992, dalam Gogor, 2002) menyatakan pentingnya suatu kanal komunikasi yang terstruktur sedemikian rupa sehingga dapat mempermudah penerima informasi dalam menginterpretasikan kandungan informasi yang disampaikan melalui proses komunikasi tersebut sehingga terciptanya kebersamaan dalam makna. 


Kesadaran masyarakat dalam ahli teknologi
Pengembangan dan alih teknologi merupakan alternatif yang tidak bisa ditolak untuk menjawab tantangan masa depan kita sebagai bangsa dan negara berkembang. Namun, pengembangan dan terutama alih teknologi itu dapat menimbulkan masalah yang luas dampaknya, karena teknologi modern tidak bebas nilai seperti teknologi tradisional. Pengalaman menunjukkan bahwa teknologi tidak netral lagi. Teknologi telah sering digunakan sebagai alat politik, sosial-ekonomi-budaya dan tendensi lainnya untuk menguasai orang/ bangsa lain. Bahkan teknologi juga sering dimengerti sebagai tujuan.
Maka kita tidak boleh ‘buta teknologi’, bukan hanya dalam arti tidak tahu dan karenanya tidak bisa menerapkannya, melainkan juga mampu mengenali ‘ideologi’ yang berlindung di sebalik kehebatan teknologi modern. Dengan demikian kita mampu meminimalisasi dampak negatif teknologi modern itu, baik yang berasal dari penerapannya per se, maupun dalam upaya menolak ideologi yang muncul di sebaliknya, yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Sehubungan dengan itu pantaslah bila Soedjatmoko ( 1986 ) menegaskan bangsa dan negara Indonesia perlu menumbuhkembangkan suatu perspektif nasionalisme modern, yaitu ‘Nasionalisme Pembangunan’ yang dimaknainya “… suatu nasionalisme modern, yang tidak picik, tidak rasialis, dan tidak takut kepada dunia luar atau pengaruh dunia luar – yang tentunya tetap berpegang kepada rasa harga diri sebagai sebuah bangsa, dan kesadaran akan kepribadian diri sendiri yang dinamis dan kreatif.”
Sementara itu kita pun perlu mewaspadai peringatan yang disampaikan Soerjanto Poespowardojo ( 1989:88 ): “Teknologi tidak lagi merupakan sesuatu di luar manusia, melainkan menjadi substansinya. Teknologi tidak lagi berhadapan dengan manusia, melainkan terintegrasi dengannya, dan bahkan bertahap menelannya. Transformasi yang terjadi dalam masyarakat modern ini merupakan konsekuensi dari kenyataan, bahwa teknologi telah memperoleh otonominya.”

Dialektika ideologi dan teknologi

Dalam seminar “Pengkajian Permasalahan Pembangunan dalam Rangka Pencarian Strategi Jangka Panjang” yang diselenggarakan di Jogjakarta, 3 Juni 1989, ahli sejarah Sartono Kartodirdjo menyarankan agar kita memperhatikan proses dialektika antara teknologi dan ideologi sebagai dua kekuatan yang membentuk dan mengubah sistem masyarakat dalam segala aspeknya. Ideologi nasional Pancasila perlu dimobilisasi, dijadikan etos bangsa guna menanggulangi dampak negatif teknologi. Jelasnya, ia hendak meletakkan teknologi dalam hubungan dialektis dengan ideologi Pancasila.
Bagai gayung bersambut, saran tersebut segera mendapat tanggapan dari Isa Ridwan (Konsultan Ahli LIPI-Puspitek) yang akhirnya menimbulkan polemik yang menarik di antara para pakar. Tulisan Isa Ridwan di harian Kompas, 7 Juni 1989, berjudul Ideologi dan Teknologi, ditanggapi antara lain oleh Ignas Kleden (Ideologi dan Teknologi, Kompas 21-22 Agustus 1989), Arief Budiman (Ideologi dan Teknologi, Kompas 6 September 1989), Liek Wilardjo (Imbasan dalam Ilmu, Kompas 15 September 1989, Farid Ruskanda (Ideologi dan Teknologi, Kompas 18 September 1989), Kaelan (Hubungan Ideologi dan Teknologi, Pelita 29 September 1989), F. Budi Hardiman (Teknologi sebagai Ideologi) dan Max Willar (Ideologi dan Teknologi, Basis Februari 1990-XXXIX-2).
Penampilan dialektika ideologi dan teknologi dalam trilogi Hegel (tesis-antitesis-sintesis) tampaknya perlu dilakukan mengingat kemampuan ideologi di satu pihak dan teknologi di pihak lain sebagai dua kekuatan yang membentuk dan mengubah sistem masyarakat dalam segala aspeknya, sebagaimana sudah dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo.
Dalam tanggapannya, Max Willar sempat mengemukakan pengertian dialektika (Ing. dialectic): “… istilah untuk falsafah pemikiran yang menekankan pada hakikat adanya pertentangan dan menyelidiki pertentangan tersebut. Falsafah pemikiran itu berbeda dengan cara pemikiran yang rasional konsekuen. Metoda pemikiran dialektik ingin menyatakan diri pada kenyataan yang ada, yang juga mengakui sikap dialektik; bahwa dalam kenyataan dianggap sebagai proses perubahan yang dinamik di mana segala pertentangan saling silih berganti dan silih menyusul.”
Sebagaimana kita ketahui dari berbagai makna definitifnya, ideologi didasarkan pada asumsi-asumsi filosofis dan teoritis. Dengan demikian, ideologi dapat diuji secara logis dan metodologis. Namun pada kenyataannya ideologi termasuk kategori praktis, karena kebenarannya tidak ditentukan oleh verifikasi maupun falsifikasi secara metodologis, melainkan didasarkan pada suatu kriterium relevansi, yaitu apakah ideologi itu dapat memenuhi kebutuhan praktis (politis) sekelompok orang atau suatu negara.
Suatu ideologi dapat ditentukan kebenarannya hanya dalam praksis kehidupan. Dalam hal ini, sekelompok orang dan atau suatu negara dapat menanggapi ideologi sebagai distorsi, legitimasi, atau integrasi. Ideologi menjadi distorsi bila ia ditanggapi sebagai pembalikan atau pemalsuan kenyataan sosial. Setiap sistem kekuasaan menghendaki kemapanan tidak hanya atas dasar dominasi, melainkan juga atas dasar suatu jaminan kepercayaan dari pihak yang dikuasai. Untuk menjembatani kekuasaan dengan kepercayaan dari pihak yang dikuasai itulah ideologi oleh pihak penguasa diterapkan sebagai konsep yang melegitimasi kekuasaannya secara efektif. Dengan berfungsinya ideologi sebagai legitimasi, kekuasaan menjadi mantap, sehingga keseluruhan konfigurasi sosial tidak dipersoalkan lagi, karena sudah terintegrasi ke dalam suatu identitas sosial-budaya.
Dari proses kelahiran dan pemeliharaannya hingga kini, Pancasila jelas merupakan ideologi yang berfungsi integratif, karena diwujudkan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri. Maka dapat dikatakan, kelahiran Pancasila sebagai dasar negara yang bermakna integratif, implementasinya bermakna institusional karena penghayatan dan pengamalannya didasarkan pada posisinya sebagai dasar negara, ideologi dan ajaran tentang nilai-nilai budaya serta pandangan hidup bangsa, sedangkan pewarisannya berlangsung melalui sosialisasinya sebagai kepribadian bangsa. Dalam lingkaran proses itulah Pancasila dihidupi dan menghidupi bangsa Indonesia.
Sejarah membuktikan bahwa teknologi pun dapat memperoleh otonominya dengan mengubah dirinya menjadi ideologi dengan cara: 1) mengubah pandangan dunia mistis menjadi pandangan dunia mekanis, materialistis, dan teknis; 2) pengaturan kehidupan sosial dilandasi prinsip-prinsip teknologi; 3) mengganti tindakan-tindakan komunikatif bertujuan etis-praktis dengan tindakan-tindakan strategis bertujuan teknis.
Sejak awal kehahirannya pada masa Pencerahan, teknologi telah menghancurkan mitos-mitos dan pla pikir masyarakat tradisional yang dibatasi oleh berbagai legitimasi tradisi kebudayaan seperti mitologi, teologi, filsafat, yang semuanya berfungsi integratif. Pola tersebut disadari sebagai ideologi dalam fungsi distorsif karena bertentangan dengan kepentingan Pencerahan yang melahirkan berbagai penemuan yang menjadi cikal bakal Revolusi Industri. Ideologi yang kemudian muncul sebagai legitimasi baru mengganti pola tradisional dengan pola modern yang membentuk sistem integrasi sosial baru, yakni sistem kapitalisme liberal yang mendasarkan diri pada mekanisme pasar bebas dan serangkaian prinsip tentang kebebasan lainnya. Negara-negara yang menguasai teknologi mulai mengadakan ekspansi dan intervensi yang didorong oleh kepercayaan bahwa ilmu dan teknologi adalah solusi berbagai masalah. Negara-negara tersebut mendasarkan diri pada teknologi sebagai legitimasi kekuasaan teknokratis. Dengan demikian, bentuk integrasi sosial yang terjadi adalah masyarakat teknokratis yang memperluas dan melestarikan kekuasaannya melalui teknologi. Dalam masyarakat teknokratis itu hubungan antarmanusia dipermiskin menjadi hubungan instrumental dan dengan demikian mengabaikan nilai-nilai komunikatif manusiawi.
Oleh karena itu, dalam upaya pengembangan dan alih teknologi, kita perlu mengadakan refleksi apakah teknologi itu kemudian muncul sebagai ideologi, sikap, cara dan gaya hidup, yang melakukan infiltrasi, penetrasi atau bahkan invasi terhadap orientasi nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa kita. Refleksi dan orientasi itu mesti diwujudkan pula dalam kesadaran sedemikian rupa agar ilmu dan teknologi dapat disikapi sebagai kenyataan budaya yang sangat berharga dan dibutuhkan dengan tetap mempertahankan fungsi dan peranannya sebagai sarana demi kepentingan manusia seperti disarankan Soerjanto Poespowardojo ( 1989:86 ): “Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan teknologi, kesadaran religius, budaya, dan ilmiah perlu ditanamkan dan dinyalakan, karena dengan demikian orang mendapatkan motivasi kuat untuk menentukan sikap dan menjalankan kegiatannya secara terbina dan terarah.”
Menyadari kemampuan metamorfosa teknologi sebagai ideologi, Farid Ruskanda ( 1989 ) mengusulkan penambahan ideoware ke dalam rangkaian technoware (peralatan), infoware (informasi), humanware (sumber daya manusia), dan orgaware (organisasi). Ideoware merefleksikan ideologi dan cita-cita pembangunan suatu bangsa secara operasional dalam proses pengembangan, pengalihan maupun pengendalian perkembangan teknologi.
Semestinya pemindahan suatu sistem atau pola yang berasal dari kebudayaan asing ke dalam kebudayaan Indonesia memang harus dapat dilakukan tanpa banyak masalah dalam kaitan perbenturan budaya bila pengisiannya disesuaikan dengan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa di masa lampau bangsa Indonesia telah membuktikan diri sebagai bangsa yang cukup kuat kepribadiannya. Haryati Soebadio ( 1988 ) mengatakan bahwa: “Banyak unsur asing yang telah memasuki kehidupan budaya bangsa kita, namun unsur asing itu telah diserap dan terintegrasi dalam kebudayaan Indonesia sedemikian rupa hingga membentuk sesuatu yang menjadi khas Indonesia, berarti merupakan unsur kebudayaan Indonesia secara wajar. Kesanggupan bangsa kita itu pernah dinamakan ‘local genius’ oleh sarjana asing …” (Istilah local genius diperkenalkan oleh tokoh arkeologi Quatrich Wales dalam bukunya berjudul “The Making of Greater India: A Study in South-east Asia Culture Change”. Istilah itu dirumuskannya sebagai: “The sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early life.”)
Peninggalan sejarah bangsa seperti candi Borobudur yang unik di dunia (tidak ditemukan di tempat lain) adalah salah satu contoh perwujudan local genius yang dimaksudkannya. Kita mengetahui bahwa candi Borobudur dipengaruhi budaya India. Demikian pula dengan seni musik keroncong (masukan dari seni musik Portugis), corak batik pesisir utara Jawa (masukan dari motif China dan Belanda), yang telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi milik khas Indonesia.




Sumber :

http://ruhcitra.wordpress.com/2008/10/25/masalah-pengembangan-dan-alih-teknologi/

http://wsmulyana.wordpress.com/tag/alih-teknologi/


Friday, April 25, 2014

Dimensi Etik Hak Cipta

dimensi etik : enam dimensi strategis administrasi publik

dimensi etika dianalogikan dengan sistem sensor di dalam administrasi publik. dimensi ini dianggap sebagai dimensi strategis dalam administrasi publik.

secara logis, isu ketika sangat vital didalam administrasi publik karena adanya keleluasaan atau dikresi yang diberikan kepada para eksekutif. john a. rohr (1989:60) yang mendasarkan pendapatnya pada buku morality and administration in democratic government karya paul appleby, menyatakan bahwa diskresi administrasi menjadi “starting point” bagi masalah moral atau etika dalam dunia administrasi publik. selanjutnya, masalah moral atau etika jauh lebih memperihatinkan dan lebih fatal akibatnya daripada kekeliruan manusia yang dilakukan dalam pemerintahan.

etika dapat menjadi suatu faktor yang mensukseskan tetapi juga sebaliknya menjadi pemicu dalam menggagalkan tujuan kebijakan, struktur organisasi, serta manajemen publik. bila moralitas para penyusun kebijakan rendah, maka kualitas yang dihasilkanpun sangat rendah. kebobrokan moralitas atau etika dari mereka yang merencanakan, mengimplementasikan, dan memonitor serta mengevaluasi pelayanan publik akan sangat berpengaruh pada hasil akhir. tingkat moralitas atau etika para pemberi pelayanan publik akan mempengaruhi pencapaian hasil.

batasan dan ruang lingkup
bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. filsuf besar aristoteles, kata bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang adat kebiasaan. bertens juga mengatakan bahwa di dalam kamus umum bahasa indonesia, karangan purwadiminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). dalam kamus besar bahasa indonesia (departemen pendidikan dan kebudayaan, 1998), disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

bertend berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan nilai-nilai norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”, (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”, dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”. the incyclopedia of philosophy yang menggunakan etika sebagai (1) “way of life”, (2) “moral code” atau rules of conduct, dan (3) penelitian tentang unsur pertama dan kedua diatas (lihat denhard, 1988:28).

etika lebih menggambarkan tentang perbuatan itu sendiri, yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya mengambil barang milik orang lain tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. sementara etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan dan berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada persoalan bagi kebudayaan lain. karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang cenderung berlaku universal dan menggambarkan sunggguh-sungguh sikap batin.

nilai-nilai moral nampak dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan “six great ideas” (lihat denhard, 1988) yaitu nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice). pemberian pelayanan publik, tutur kata, sikap, dan perilaku para pemberi pelayanan seringkali dijadikan obyek penilaian dimana nilai-nilai besar tersebut dijadikan ukurannya.

dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat dan “profesional standar” (kode etik), atau “righ of rules of coduct” (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik (lihat denhard, 1988). menurut the public administration dictionary (chandler dan plano, 1988: 17), etika didefinisikan sebagai filsafat yang berkenaan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan perilaku manusia, dalam kaitannya dengan benar atau salah suatu perbuatan, dan baik atau buruk motif dan tujuan dari perbuatan tersebut (lihat chandler dan plano, 1988: 17).

CONTOH KASUS HAK CIPTA

PT. MusikIndonesia menerbitkan sebuah lagu yang beraliran melayu. Lagu ini dijual secara luas di masyarakat. 1 bulan kemudian PT. Melayuku juga menerbitkan sebuah lagu yang serupa yang isi lagu itu sama dengan yang dimiliki oleh PT. MusikIndonesia. Tetapi aliran lagunya tidak sama, PT. Melayuku memakai aliran lagu Jazz dan susunan kata yang sedikit dirubah. Sementara itu terbitan lagu PT. MusikIndonesia tidak ada, PT. MusikIndonesia tidak mendaftarkan ciptaannya. PT MusikIndonesia berkeinginan untuk menggugat PT. Melayuku dengan alasan melanggar hak cipta.

Identifikasi adanya pelanggaran hak cipta adalah sbb:
  1. Menurut pasal 11 ayat 2 UU. No 19/ 2002, menyebutkan bahwa ciptaan yang telah diterbitkan hak ciptanya dipegang oleh penerbit. Artinya PT. MusikIndonesia memegang hak cipta atas Lagu yang beraliran melayu.
  2. Adanya kesamaan Judul lagu dan isi lagu yang diterbitkan oleh PT.Melayuku dengan yg diterbitkan oleh PT.MusikIndonesia. 
  3. Pelanggaran hak cipta tidak harus terjadi secara keseluruhan tetapi juga terjadi apabila ada kesamaan sebagian. 
  4. Adanya kesamaan Judul lagu dan isi lagu yang diterbitkan oleh PT.Melayuku dengan yg diterbitkan oleh PT.MusikIndonesia. tanpa adanya komunikasi dan kontrak oleh pihak PT. Melayuku kepada pihak PT. MusikIndonesia sebagai pemegang hak cipta lagu yang Judul lagu dan isi yang sama tersebut.
Fakta tidak didaftarkannya ciptaan PT. MusikIndonesia secara hukum tidak mempengaruhi posisi PT. MusikIndonesia tentang kepemilikan hak cipta. Karena hak cipta :
  1. Perlindungan hukum hak cipta dengan secara otomatis saat ekspresi terwujud atau lahir tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan sesuai pasal 2 ayat 1 UU No.19 Tahun 2002.
  2. Tanpa pendaftaran, pendaftara hanya sebagai sarana pembuktian kepemilikan sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat 1 huruf b dan pasal 12 ayat 2 & 3 pasal 35 ayat 4 UU No.19 Tahun 2002.
  3. Pembuktian oleh pengadilan bisa dilakukan dengan proses cetak dan penggunakan awal oleh publik/ masyarakat. Dimana masyarakat sudah menikmati hasil hak cipta terbitan lagu oleh PT. MusikIndonesia.




Referensi :
  • http://2frameit.blogspot.com/2011/12/dimensi-etika-enam-dimensi-strategis.html
  • http://mayangadi.blogspot.com/2013/05/undang-undang-hak-cipta-penyelenggaraan.html
  • www.google.com

Saturday, March 22, 2014

HKI (Hak Kekayaan Intelektual)



Pengertian Hak Kekayaan Intelektual


Hak Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.

Bidang HKI


Secara garis besar HKI dibagi dalam 2 (dua) bagian,yaitu:
1)  Hak Cipta (copyright);
2)  Hak kekayaan industri (industrial property rights), yang mencakup:
- Paten (patent);
- Desain industri (industrial design);
- Merek (trademark);
- Penanggulangan praktek persaingan curang (repression of unfair competition);
- Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit);
- Rahasia dagang (trade secret).


Sistem HKI


Sistem HKI merupakan hak privat (private rights). Disinilah ciri khas HKI. Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftar karya intelektual atau tidak. Hak eksklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain, dan sebagainya) tidak lain dimaksud sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan agar orang lain terangsang untuk lebih lanjut mengembangkan lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar. Di samping itu, sistem HKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkan teknologi atau hasil karya lain yang sama dapat dihindarkan/dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan dengan maksimal untuk keperluan hidup atau mengembangkan lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.


Badan Khusus yang menangani Hak Kekayaan Intelektual Dunia


Badan tersebut adalah World Intellectual Property Organization (WIPO), suatu badan khusus PBB, dan Indonesia termasuk salah satu anggota dengan diratifikasinya Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization.



Kedudukan HKI di mata dunia Internasional


Pada saat ini, HKI telah menjadi isu yang sangat penting dan mendapat perhatian baik dalam nasional maupun internasional. Dimasukkannya TRIPs dalam paket Persetujuan WTO di tahun 1994 menandakan dimulainya era baru perkembangan HKI di seluruh dunia. Dengan demikian pada saat ini permasalahan HKI tidak dapat dilepaskan dari dunia perdagangan dan investasi. Pentingnya HKI dalam pembangunan ekonomi dan perdagangan telah memacu dimulai era baru pembangunan ekonomi yang berdasar ilmu pengetahuan.


Paten


  • Pengertian dan Dasar Hukum
    1. Paten
    2. Invensi
    3. Inventor dan Pemegang Paten
    4. Hak Prioritas
    5. Hak Ekslusif
    6. Hak Pemegang Paten
    7. Lisensi
    8. Lisensi wajib
    9. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang paten
    10. Pengalihan Paten
  • Lingkup Paten
    1. Paten Sederhana
    2. Paten dari beberapa invensi
    3. Invensi yang tidak dapat diberi paten
  • Jangka waktu perlindungan Paten
  • Pelanggaran dan Sanksi
  • Permohonan Paten
    1. Deskripsi
    2. Klaim
    3. Abstrak
    4. Permohonan Pemeriksaan Substantif
    5. Permohonan Perubahan Nama dan/ atau Alamat Pemohon Paten
    6. Permohonan Untuk Memperoleh Petikan Daftar Umum Paten



    Contoh Kasus Hak Cipta


      Perkara gugatan pelanggaran hak cipta logo cap jempol pada kemasan produk mesin cuci merek TCL bakal berlanjut ke Mahkamah Agung setelah pengusaha Junaide Sasongko melalui kuasa hukumnya mengajukan kasasi. "Kita akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), rencana besok (hari ini) akan kami daftarkan," kata Angga Brata Rosihan, kuasa hukum Junaide. Meskipun kasasi ke MA, Angga enggan berkomentar lebih lanjut terkait pertimbangan majelis hakim yang tidak menerima gugatan kliennya itu. "Kami akan menyiapkan bukti-bukti yang nanti akan kami tunjukan dalam kasasi," ujarnya. Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengatakan tidak dapat menerima gugatan Junaide terhadap Nurtjahja Tanudi-sastro, pemilik PT Ansa Mandiri Pratama, distributor dan perakit produk mesin cuci merek TCL di Indonesia.
    Pertimbangan majelis hakim menolak gugatan tersebut antara lain gugatan itu salah pihak (error in persona). Kuasa hukum tergugat, Andi Simangunsong, menyambut gembira putusan Pengadilan Niaga tersebut. Menurut dia, adanya putusan itu membuktikan tidak terdapat pelanggaran hak cipta atas peng-gunaan logo cap jempol pada produk TCL di Indonesia. Sebelumnya, Junaide menggugat Nurtjahja karena menilai pemilik dari perusahaan distributor dan perakit produk TCL di Indonesia itu telah menggunakan logo cap jempol pada kemasan mesin cuci merek TCL tanpa izin. Dalam gugatanya itu. penggugat menuntut ganti rugi sebesar Rp 144 miliar.

    Penggugat mengklaim pihaknya sebagai pemilik hak eksklusif atas logo cap jempol. Pasalnya dia mengklaim pemegang sertifikat hak cipta atas gambar jempol dengan judul garansi di bawah No.-C00200708581 yang dicatat dan diumumkan untuk pertama kalinya pada 18 Juni 2007. Junaide diketahui pernah bekerja di TCL China yang memproduksi AC merek TCL sekitar pada 2000-2007. Pada 2005. Junaide mempunya ide untuk menaikkan kepercayaan masyarakat terhadap produk TCL dengan membuat gambar jempol yang di bawahnya ditulis garansi. Menurut dia, Nurtjahja telah melanggar Pasal 56 dan Pasal 57 UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Untuk itu Junaide menuntut ganti rugi materiel sebesar Rpl2 miliar dan imateriel sebesar Rp 120 miliar.


    SUMBER

    • http://119.252.161.174/daftar-isi-hak-kekayaan-intelektual/
    • http://119.252.161.174/pengertian-hak-kekayaan-intelektual/
    • http://119.252.161.174/bidang-hki/
    • http://www.kaskus.co.id/thread/5254cf3cc2cb17836e000003/contoh-kasus-hak-cipta