Kondis alih teknologi di indonesia
Secara
sederhana, konsep alih teknologi dapat diartikan sebagai salah satu
cara untuk memperoleh kemampuan teknologi, di mana saluran yang dapat
dipakai juga bermacam-macam. Sebagai contoh: alih teknologi dapat
dilakukan dengan cara penanaman modal asing, memalui berbagai perjanjian
bantuan teknis dan manajerial, melalui tukar-menukar tenaga ahli,
melalui buku-buku, dan sebagainya.
Konsep
alih teknologi dipahami secara berbeda-beda, seperti juga konsep
kemampuan teknologi. Santikar (1981) menunjukkan bahwa ada empat macam
konsep alih teknologi, di mana masing-masing konsep membutuhkan
kemampuan teknologi dan pendalaman teknologi yang berbeda-beda. Keempat
konsep alih teknologi tersebut adalah:
1. Alih teknologi secara geografis. Konsep
ini menganggap alih teknologi telah terjadi jika teknologi tersebut
telah dapat digunakan di tempat yang baru, sedangkan sumber-sumber
masukan sama sekali tidak diperhatikan.
2. Alih teknologi kepada tenaga kerja lokal. Dalam
konsep ini, alih teknologi terjadi jika tenaga kerja lokal sudah mampu
menangani teknologi impor dengan efisien, yaitu jika mereka telah dapat
menjalankan mesin-mesin, menyiapkan skema masukan-keluaran, dan
merencanakan penjualan.
3. Transmisi atau difusi teknologi. Dalam
konsep ini, alih teknologi terjadi jika teknologi menyebar ke unit-unit
produktif lokal lainnya. Hal ini dapat terjadi melalui program sub-contracting atau usaha-usaha diseminasi lainnya.
4. Pengembangan dan adaptasi teknologi. Dalam
konsep ini, alih teknologi baru terjadi jika tenaga kerja lokal yang
telah memahami teknologi tersebut mulai mengadaptasinya untuk
kebutuhan-kebutuhan spesifik setempat ataupun dapat memodifikasinya
untuk berbagai kebutuhan. Pada kasus-kasus tertentu yang dianggap
berhasil, tenaga kerja lokal dapat mengembangkan teknik-teknik baru
berdasarkan teknologi impor tadi.
Berdasarkan
konsep-konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan teknologi
masyarakat mencapai taraf optimal, jika alih teknologi sudah sampai pada
konsep yang keempat, yang dikenal dengan istilah reverse engineering.
Untuk kasus-kasus negara berkembang, seperti Indonesia, dengan
menyadari adanya berbagai keterbatasan maka alih teknologi dapat
dikatakan berhasil jika konsep yang ketiga bisa dicapai, yaitu adanya
transmisi atau difusi teknologi.
Jika
dilihat prosesnya, alih teknologi dapat dilihat sebagai suatu proses
yang dimulai sejak dari kontak awal penerima dengan pemilik teknologi;
dilanjutkan dengan negosiasi terutama untuk mengatasi berbagai hambatan
yang disebabkan oleh perbedaan sosial budaya antara pemilik dan penerima
teknologi; kemudian tahap implementasi; serta proses umpan balik dan
pertukaran yang terjadi terus-menerus, sampai hubungan antara pemilik
dan penerima teknologi baru terputus.
Oleh
karena itu, diperlukan pula jaringan alih teknologi baik secara
intrainstitusional maupun interinstitusional. Jaringan tersebut
dimaksudkan untuk membentuk dinamika belajar (dynamic learning) melalui belajar sambil bekerja (learning by doing), belajar sambil memakai (learning by using), dan belajar sambil saling berhubungan (learning by interacting).
Kesemuanya itu merupakan jalur cepat berikutnya untuk meningkatkan
produktivitas ke arah standar yang lebih tinggi secara terus-menerus.
Cara lain untuk alih teknologi adalah melalui inovasi terus-menerus (continious innovation)
dalam hal produk dan proses produksi. Namun yang menjadi persoalan
adalah bagaimana membentuk sistem intrainstitusi dan interinstitusi yang
dibutuhkan sehingga dapat tercipta learning by interacting dalam setiap kegiatan ekonomi
yang mampu menghasilkan perubahan inkremental dalam produk maupun
proses produksi, betapapun kecilnya perubahan tersebut.
Di
lain pihak, permasalahan yang seringkali diangkat adalah bagaimana
proses penerapan temuan teknologi atau alih teknologi dilakukan ? Faktor-faktor apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam usaha penerapan temuan teknologi maupun upaya melakukan alih teknologi ?
Saat
ini, yang dimulai sejak sekali 1980-an, konsep prosedur pengkajian
teknologi untuk melihat faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
proses alih teknologi, yang dianjurkan dan diminati lebih mengarah pada
pengkajian yang sifatnya terpadu, yaitu menyangkut tidak saja pada
pengembangan teknologi (technology development), tetapi juga penilaian/evaluasi teknologi (technology evaluation) serta penilaian dan pengolaan teknologi (technology assessment and management) (Burge, 1993). Tahapan tersebut pada intinya terdiri dari tiga tahapan pokok, yaitu:
Tahap 1. Pengembangan teknologi
- Penilaian kebutuhan
- Pengembangan rancangan teknis
Tahap 2. Penilaian teknologi
- Ketepatan teknologi dari perspektif teknologi
- Ketepatan teknologi dari perspektif sosial/institusional
Tahap 3. Penilaian dampak dan Pengelolaan teknologi
- Penilaian dampak
- Pemantauan dampak dan pengelolaannya
Berdasarkan
tiga tahapan tersebut, pertimbangan yang selanjutnya dilakukan dalam
pengambilan keputusan baik untuk pengembangan, penerapan ataupun
pengalihan teknologi adalah keterpaduan antara pertimbangan teknis,
ekonomi, sosial maupun lingkungan yang melihat seberapa jauh
pranata-pranata dalam masyarakat dapat menerima teknologi yang dimaksud.
Bahkan dalam tahap pertama pun diharapkan adanya pertimbangan mengenai
pandangan stakeholders dan masyarakat pada umumnya mengenai kebutuhan akan suatu teknologi tertentu.
Permasalahan
yang akan muncul adalah seberapa jauh ketentuan normatif tersebut, yang
dianjurkan oleh lembaga internasional, telah dan dapat dilaksanakan di
dalam pertimbangan penerapan maupun alih teknologi? Dalam hal ini
diperlukan kerja sama dan koordinasi antara berbagai institusi yang
terkait, sehingga berbagai faktor yang perlu
dipertimbangkan dan aspek-aspek yang akan mempengaruhi proses alih
teknologi dapat dibicarakan dan dicarikan solusinya secara sinergis, dan
pada akhirnya alih teknologi dapat berjalan melalui proses akselerasi
secara efektif dan efisien sebagaimana yang diharapkan.
Peranan Teknologi dan Permasalahannya
Sebagai
negara berkembang, Indonesia menghadapi dimensi baru dalam persaingan
internasional yang berkaitan erat dengan laju perkembangan teknologi
yang makin pesat dan persaingan industri yang makin tajam. Perkembangan teknologi (technological progress)
telah disadari mampu memberikan keuntungan ekonomi, sehingga
negara-negara berkembang berusaha untuk mengembangkan potensinya untuk
menyerap, mengadakan dan mengimplementasikan teknologi.
Betapa
pentingnya peranan teknologi dalam perjalanan suatu bangsa ditunjukkan
oleh keberhasilan industrialisasi di negara-negara maju dan NIEs (Newly Industrializing Economics).
Dalam kasus NIEs seperti Korea Selatan, Taiwan atau Singapura,
keberhasilan mereka dalam beralih dari strategi industrialisasi yang
berorientasi ekspor dengan mengandalkan pada produk akhir dan padat
karya ke produk-produk yang lebih canggih, berlangsung sejalan dengan
peningkatan kapabilitas teknologi yang terarah serta dengan landasan
yang kokoh dan lebih merata (Pangestu dan Basri, 1995).
Pengalaman
di beberapa negara juga menunjukkan bahwa peningkatan kapabilitas
teknologi berlangsung secara bertahap. Pengertian bertahap di sini lebih mengacu
pada kematangan dalam menjalani setiap tahap, yang sekaligus menjamin
kesiapan dan landasan yang kokoh untuk memasuki tahapan lebih lanjut.
Salah satu yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan social absorption capacity
dari suatu bangsa/masyarakat menghadapi proses transformasi, yang
meliputi antara lain: aspek sosiokultural, kesiapan sumber daya manusia,
aspek kelembagaan, dan kesiapan birokrasi (Pangestu dan Basri, 1995;
Sutrisno, 1994; Thee, Jusmaliani dan Indrawati, 1995). Faktor lainnya
adalah kesiapan infrastruktur dalam arti yang luas, meliputi tidak hanya
infrastruktur fisik melainkan juga infrastruktur pemasaran,
infrastruktur kuangan, kapabilitas informasi, kapabilitas teknologi, dan
sebagainya.
Kebijakan pemerintah Indonesia juga mengindikasikan bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi sangat diperlukan untuk menumbuhkan daya
saing bangsa dalam memproduksi barang dan jasa, yang berbasis sumber
daya lokal, yang pada gilirannya akan meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat secara nyata dan berkelanjutan (sustainable).
Hal tersebut antara lain tercermin dalam Undang-Undang No. 25 Tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, di
mana pembangunan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)
dilakukan melalui empat program nasional, yang meliputi (1)
Iptek dalam dunia usaha, (2) diseminasi informasi iptek, (3)
peningkatan sumber daya Iptek, serta (4) kemandirian dan keunggulan
Iptek.
Komitmen
tersebut diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2002,
tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas IPTEK). Undang-Undang ini
mewajibkan pemerintah untuk memperhatikan: (1) upaya penguatan dan
penguasaan ilmu-ilmu dasar, ilmu pengetahuan dan teknologi strategis,
serta peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan; (2) penguatan
dan penguasaan ilmu-ilmu sosial dan budaya, yang mendukung perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) penguatan pertumbuhan industri
berbasis teknologi, untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi
dan difusi teknologi; serta (4) penguatan tarikan pasar bagi hasil
kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Persoalannya
kemudian adalah sampai saat ini masih banyak kegiatan produktif
masyarakat yang memerlukan dukungan iptek, baik yang berskala kecil,
menengah atau besar, belum bisa dipenuhi secara optimal. Operasional
lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah (seperti LIPI, BPPT,
BATAN, LAPAN, LEN dan lain-lain), perguruan tinggi (seperti ITB, UI,
UGM, UNPAD,dan lain-lain), ataupun industri/perusahaan swasta memang
sudah lama berjalan, tetapi belum menunjukkan peran dan fungsi yang
optimal dalam mengembangkan dan memanfaatkan teknologi bagi aktivitas
pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Beberapa kajian menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi seperti itu, antara lain:
Pertama,
alih teknologi tidak berjalan lancar dan lebih terbatas pada kemampuan
operasional karena lemahnya pengembangan sumber daya manusia. Hal
tersebut menyebabkan terbatasnya: kemampuan memperoleh dan mengalihkan
teknologi yang telah dipilih, kemampuan menyesuaikan (mengadaptasi)
teknologi tersebut sesuai dengan keadaan setempat, dan kemampuan melatih
masyarakat dalam penggunaan teknologi tersebut.
Kedua,
kegiatan penelitian dan pengembangan dalam arti yang sebenarnya tidak
atau sangat sedikit dilakukan, yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan
inovatif berbagai lembaga litbang baik pemerintah, perguruan tinggi
maupun industri. Sebagai contoh, kegiatan litbang industri (perusahaan
manufaktur) pada umumnya terbatas pada kegiatan uji coba bahan baku atau
pengendalian mutu, dan tidak memperhatikan perubahan–perubahan pada
sisi permintaan/pasar.
Ketiga,
kemampuan teknologi berbagai lembaga litbang sebagian besar baru
terbatas pada kemampuan investasi, produksi dan beberapa perubahan
kecil, sedangkan kemampuan pemasaran masih sangat lemah atau hampir
tidak ada. Hal tersebut menyebabkan produk-produk yang dihasilkan
lembaga litbang tidak populer di masyarakat. Kondisi ini diperparah
dengan faktor keempat, yaitu tidak adanya keterkaitan
yang jelas antara berbagai lembaga litbang serta antara berbagai
kelompok potensial dalam masyarakat dapat dimanfaatkan sebagai unit
antara (intermediate institution),
yang dapat berperan dan berfungsi strategis dalam menjembatani
kebutuhan dan tuntutan konsumen/pasar dengan keberadaan dan kemampuan
lembaga litbang sebagai produsen iptek.
Dalam hal diseminasi iptek hasil litbang, keberadaan unit-unit antara (intermediate institution), seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), suplier swasta,
instansi teknis terkait, ataupun konsorsium yang dibentuk oleh
msyarakat, pemerintah dan swasta, sangat penting dan berguna baik
sebagai unit teknis praktis maupun sebagai fasilitator. Dengan kata
lain, unit-unit antara mempunyai peran dan fungsi yang strategis dan
potensial dalam membantu proses diseminasi iptek hasil litbang secara
aktual dan berkelanjutan. Dengan pendekatan matching programme
antara simpul-simpul iptek dan unit-unit bisnis diharapkan muncul
sinergi baru, yang dapat meningkatkan akselerasi aliran (diseminasi)
iptek, serta terjadinya solusi terarah (focusing solution) kepada persoalan langsung kebutuhan pengguna dan penghasil iptek.
Perlunya Intervensi Dalam Difusi Teknologi
Inovasi
menjadi aspek yang teramat penting dalam kondisi persaingan yang
semakin kompetitif. Inovasi juga menjadi suatu hal yang strategis ketika
kevakuman serta rutinitas menjadi fenomena umum dalam sistem kerja.
Inovasi sangat berati ketika tingkat produktivitas usaha
menjadi hal yang mendasar bagi terbangunnya kemampuan persaingan.
Inovasi akan terasakan maknanya ketika proses difusi absorpsi menjadi mekanisme rutin terjadi dalam sistem inovasi. Dengan demikian difusi inovasi sebagai sustu proses transfer of knowledge menjadi suatu hal yang esensi dalam mendorong percepatan tumbuhnya perekonomian dan kesejahteraan nasional.
Berbagai
insiatif program pemerintah telah banyak di dilakukan untuk melakukan
kegiatan difusi dimaksud. Inisiatif dan program dimaksud ditujukan untuk
meningkatkan kapasitas produksi dunia usaha dan industri didasarkan
pada absorpsi produk litbang. Difusi inovasi menjadi suatu yang sangat
penting dan diperlukan keterlibatan pemerintah dalam mendorong
prosesnya.
Walaupun
masalah difusi inovasi ini telah banyak dibahas diberbagai kesempatan,
baik dalam bentuk kajian maupun seminar, difusi inovasi tetap menjadi
suatu tema yang cukup aktual dibahas, terutama ketika ditengarai kondisi
iklim inovasi masih belum berkembang di negeri ini. Hal tersebut
terlihat dari kondisi dunia usaha yang masih mencari suatu instant
teknologi dalam mendorong produktivitas usahanya dibandingkan dengan
kebutuhan mengembangkan litbangnya. Di sisi lain keberadaan
produk litbang yang dihasilkan oleh berbagai lembaga litbang dan
perguruan tinggi belum dapat dijadikan andalan dunia usaha mauapun
industri dalam proses produksinya.
Alasan
klasik mengapa pemerintah perlu melakukan intervensi dalam mendorong
terjadinya difusi inovasi adalah karena terjadinya kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar tersebut terkait dengan adanya ketidaksinkronan antara kebutuhan (need requirement)
inovasi dari pihak industri dan dunia usaha dengan produk yang
dihasilkan oleh berbagai lembaga litbang. Kondisi tersebut antara lain
diakibatkan adanya kelemahan dalam perilaku organisasi, kemampuan
sumberdaya manusia maupun kapasitas manajerial. Akses informasi terhadap
teknologi juga menjadi alasan terjadinya kegagalan pasar ini. Akibat
kondisi tersebut memunculkan macetnya sistem transaksi dan ujungnya
iklim inovasi menjadi mandeg.
Alasan lain adalah perlunya intervensi kebijakan dalam prooses difusi adalah kegagalan ‘sistemic’ yang diakibatkan kelemahan dalam keterkaitan (linkage) serta interaksi (interaction)
antara berbagai aktor dalam sistem inovasi. Dengan kondisi tersebut
ketergantungan fungsional antar berbagai elemen/aktor sistem inovasi
tidak terbangun menjadi suatu proses sinergitas. Adanya kegagalan pasar
dan kegagalan “sistemic” tersebut dapat membatasi pengembangan kapasitas
absorptif dunia usaha dan industri atau secara umum mengurangi
kemampuan industri dan dunia usaha dalam melakukan identifikasi, akses
dan penggunaan teknologi.
Alasan
lain perlunya dukungan difusi inovasi produk litbang menjadi fokus
kebijakan pemerintah adalah untuk memaksimalkan investasi terutama
melihat pengembalian investasi (return of investmen/ROI) dari
kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang). Berbagai upaya untuk
menunjukkan pengembalian pengeluaran biaya litbang juga merefleksikan
program yang dibutuhkan untuk mendukung proses pembiayaan yang sedang
berjalan. Adanya persaingan di bidang industri dan teknologi,
pengembangan ekonomi regional, stabilitas dalam percaturan bisnis dan “job creation”
merupakan alasan lain perlunya intervensi kebijakan di bidang difusi
inovasi terutama dalam bentuk program disfusi teknologi berorientasi
pengguna (demand driven). Dengan memahami berbagai alasan tadi sekaligus dalam rangka memperbaiki kegagalan pasar dalam mengakses informasi, intervensi kebijakan dapat lebih ekstensif dan komperehensif.
Peranan Komunikasi dalam Difusi Teknologi
Kenyataan
di lapangan menunjukkan bahwa iptek belum secara optimal dimanfaatkan
dalam kegiatan perekonomian masyarakat, khususnya pada sektor usaha tradisional berskala kecil dan menengah termasuk usaha-usaha yang dilakukan IKM/UKM.
Salah
satu faktor yang menjadi kendala adalah belum terfokusnya pemanfaatan
dan penyebaran informasi (diseminasi) iptek pada sasarannya. Aspek
penyebaran informasi/komunikasi memegang peranan penting untuk
tercapainya proses adopsi iptek pada masyarakat. Proses adopsi tersebut terutama menyangkut pengemasan produk iptek yang berorientasi kebutuhan masyarakat konsumen; metode diseminasi yang digunakan; dan optimalisasi simpul-simpul iptek. Hal-hal tersebut
dilakukan masih dalam kapasitas terbatas oleh produsen iptek, yakni
lembaga-lembaga penelitian (lemlitbang) dan perguruan tinggi.
Untuk
melihat pemanfaatan iptek di masyarakat, terutama masyarakat IKM/UKM,
dapat dirujuk proyek percontohan kebijakan penyebaran iptek di daerah
yang telah menerima program iptekda. Namun demikian, pengaruh dari
program tersebut sampai saat ini belum menunjukkan adanya peningkatan
produktivitas yang berbasis pada pemanfaatan iptek secara optimal.
Aspek
lain yang perlu dikaji secara mendalam adalah peran pemerintah daerah
sebagai fasilitator untuk memperlancar arus komunikasi dan penyebaran
informasi iptek (diseminasi), ternyata masih rendah. Hal ini disebabkan
oleh tingkat kapabilitas lembaga tersebut kurang memadai serta belum
optimalnya intensitas komunikasi pada proses pendampingan dan pembinaan
program iptekda tersebut. Padahal pemerintah daerah dapat berperan
dalam menentukan sarana dan prasarana melalui berbagai kebijakan yang dibuatnya untuk menciptakan arus komunikasi yang memadai.
Kendala lain dalam proses difusi
inovasi iptek oleh masyarakat /IKM adalah: (1) rendahnya tingkat
kemampuan dan keterampilan SDM yang berperan dalam proses difusi
inovasi; (2) terbatasnya informasi pusat-pusat iptek akibat lemahnya
pola dan jaringan komunikasi serta penyebarannnya di masyarakat; serta
(3) sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mendukung proses
diseminasi iptek belum memadai.
Dalam hal ini komunikasi memiliki peran
yang sangat penting; tidak mungkin terjadi proses inovasi tanpa
komunikasi. Hadiat (2002) mengungkapkan fungsi komunikasi dalam sistem
inovasi nasional, bahwa sebuah sistem tidak bisa lepas dari aspek-aspek
yang terkait dengan pola interaksi, relationship dan linkage,
di mana komunikasi menjadi instrumen proses utamanya. Komunikasi dan
informasi bukan saja berperan sebagai fungsi yang memungkinkan proses
internal sebuah elemen berjalan, tetapi juga mempersambungkan jejaring
yang dibentuk elemen-elemen sistem tersebut.
Ljunberg (1982 dalam Gogor Nurharyoko, 2002), melihat peran komunikasi dan inovasi sebagai keseluruhan pada suatu rangkaian proses inovasi yang dianggap suatu jaringan yang kompleks dari alur komunikasi yang menghubungkan tahap-tahap dari proses inovasi tersebut. Kemudian Fischer et.al (1977) menyatakan bahwa komunikasi sebagai suatu proses pengambilalihan (handling-over) dari
paket informasi dari suatu pihak ke pihak lainnya. Brown dan Eisenhardt
(1995) juga menyatakan bahwa komunikasi terstruktur (structured communication)
merupakan satu prasyarat yang menentukan dalam komunikasi internal
maupun eksternal untuk keberhasilan suatu proses inovasi. Michael
Gibbons et.al (1997) menyatakan bahwa ada dua unsur penting dalam sistem komunikasi dalam proses inovasi, yakni mobilitas dan selektivitas. Mobilitas adalah
proses komunikasi antarpeneliti dalam konteks di mana peneliti tersebut
selalu berpindah dari satu situs penelitian ke situs penelitian yang
lain. Pada unsur ini, komunikasi yang dilakukan dapat
memberikan suatu pembentukan ide-ide baru yang sangat berguna dalam
mengkreasikan inovasi baru. Intensitas komunikasi selama mobilitas
tersebut berbanding lurus dengan semakin besarnya kesempatan untuk
dihasilkannya inovasi-inovasi baru. Unsur selektivitas adalah
diperlukannya suatu proses dalam berkomunikasi, di mana para pelaku
dapat menentukan dengan baik masalah yang akan dipecahkan dalam suatu skala prioritas yang tepat ( Nurharyoko, 2002).
Selanjutnya, Ulijn (2000) menambahkan unsur ketiga, refleksivitas,
yaitu perlunya diperhatikan kompetensi dari para pelaku proses
komunikasi dalam inovasi tersebut, dari konteks refleksinya dengan
kultur. Misalnya, satu kompetensi dalam bidang komunikasi tertentu pada
suatu kultur tertentu, bisa dianggap kurang kompeten pada kultur yang berbeda.
Pada transformasi
informasi dari suatu proses inovasi, menurut Stuart Macdonald (1992)
dalam Nurharyoko (2002) menyatakan bahwa kondisi ketika informasi itu
dibentuk (generated) oleh satu sumber informasi, bisa jadi berbeda kondisinya (circumstance) dengan kondisi ketika informasi tersebut diterima oleh penerima. Perbedaan ini merupakan kendala besar dalam menerjemahkan secara tepat kandungan informasi tersebut, oleh karenanya diperlukan suatu saluran komunikasi (communication channel)
yang terstruktur sedemikian rupa sehingga dapat mempermudah penerima
informasi dalam menginterpretasikan kandungan informasi yang disampaikan
lewat proses komunikai tersebut.
Peran komunikasi dalam sistem inovasi amat penting karena inovasi
secara hakiki adalah jaringan kompleks dari sejumlah alur komunikasi
yang menghubungkan tahap-tahap dari proses inovasi (Ljunberg, 1982, dalam Gogor Nurharyoko, 2002: 1). Lebih dari itu, komunikasi terstruktur (structured communication) merupakan sebuah prasyarat yang menentukan dalam komunikasi internal dan eksternal untuk keberhasilan proses inovasi.
Sedemikian penting peran komunikasi dalam inovasi, “kepadatan komunikasi” (communication-density)
merupakan suatu variabel kunci dalam proses inovasi yang berhasil.
Peningkatan kerapatan/kepadatan komunikasi merupakan indikasi bagi
peningkatan difusi isi yang dikomunikasikan yang diyakini akan
meningkatkan kondusivitas bagi terjadinya inovasi baru.
Bahkan karakteristik dari jenis komunikasi yang terjadi diidentifikasi berbeda dalam setiap tahapan inovasi (Butler, 1997, dalam Gogor, 2002: 2). Untuk tahapan spekulasi (speculation research) karakteristik dari jenis komunikasi yang terjadi adalah:
(1) Komunikasi personal antarpeneliti yang sangat tergantung keberhasilannya dengan keterampilan tak teraba (tacit) dari peneliti yang terlibat;
(2) Struktur komunikasi biasanya nonformal dan fleksibel. Untuk tahapan eksploitasi (exploitative research) karakteristik dari jenis komunikasi yang terjadi biasanya
lebih spesifik, terjadi proses dimana keterampilan tak teraba mulai
ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih jelas dan spesifik, dan
struktur komunikasi bergeser ke bentuk yang lebih formal.
(3) Tahap eksploitasi (exploratory research)
karakteristik dari jenis komunikasi yang terjadi adalah komunikasi
sudah sampai pada tahap sangat spesifik dan langsung berorientasi pada
pencapaian sasaran yang jelas, segala hal yang sifatnya tak teraba (tacit) sudah seluruhnya bisa ditransformasikan ke bentuk yang spesifik dan bisa dialihkan (transferable) ke seluruh pihak yang terlibat dalam proses inovasi, dan struktur komunikasi sudah sangat formal, lebih terbatas, dan kaku (rigid)
Hal tersebut di atas akan terwujud jika terjadi kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning), maka komunikasi dalam proses inovasi harus memenuhi beberapa persyaratan, terutama adanya “trust atau sikap percaya” dari khalayak. Para komunikatornya pun harus melek huruf secara sosial – psikologis – kultural” (socially, psychologically, and culturally literate).
Beberapa
prinsip manajemen komunikasi dan inovasi yang penting guna mempercepat
pemapanan sistem inovasi nasional adalah sebagai berikut (Santoso S.
Hamijoyo, 2002: 4):
a. Lembaga
riset-inovasi harus benar-benar menjadi salah satu pranata sosial yang
memiliki kewibawaan nasional, sama wibawanya dengan misalnya, pranata
politik, keamanan, keuangan, perdagangan.
b. Meraih
posisi atau mereposisi diri sebagai prioritas nasional dengan fokus
kegiatan strategis yang spesifik (tegas) dengan menerapkan kriteria
keberhasilan secara konsekuen.
c. Menentukan
dan memelopori terobosan-terobosan baru iptek-inovasi dalam
bidang-bidang ekonomi, perdagangan, industri nasional, dengan tujuan
selain meningkatkan pangsa pasar (market share) juga menguasai pangsa peluang (opportunity share).
d. Secara
jujur dan berani mengevaluasi diri menemukan landasan untuk mengadakan
reformasi manajemen guna mengantisipasi tugas-tugas menurut
persyaratan-persyaratan baru yang diperkirakan. Salah satu sasaran utama
ialah penyegaran dan perbaikan SDM, meningkatkan efisiensi dan kinerja
dengan menekan “overhead cost” yang menekan biaya pengembangan, organisasional dan rekayasa.
e. Mencegah apa yang dikalangan reformis manajemen bisnis sebagai “genetical inbreeding”,
yang mematikan keberanian berinovasi dengan mengganti para pengelola
dan pelaku riset yang sudah terlalu lama mangkal dalam bidang-bidang
riset yang sama.
f. Membangun
kemitraan antar lembaga riset inovasi untuk secara sinergis menghimpun
modal intelektual, mencegah berulang-ulangnya riset inovasi yang sudah
pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya, dan mempercepat
transformasi industri, teknologi, perdagangan, dan sektor-sektor lain.
g. Inovasi dan penyebarannya secara berhasil biasanya diprakarsai dan dikelola oleh pimpinan yang kuat, berwibawa, imajinatif, dan bersemangat wira usaha.
Sejalan dengan perubahan tahapan
dan kegiatan litbang yang disertai dengan perubahan jenis komunikasi
yang semula bersifat luwes dan informal ke arah komunikasi yang lebih
terstruktur, spesifik dan kaku maka persoalan yang kerap muncul adalah
berbedanya kondisi ketika informasi dihasilkan dan saat ia diterima
khalayak. Perbedaan kondisi tadi dapat menjadi kendala dalam
menerjemahkan secara tepat kandungan informasi. Untuk mengatasinya,
demikian Mcdonald (1992, dalam Gogor, 2002) menyatakan pentingnya suatu
kanal komunikasi yang terstruktur sedemikian rupa sehingga dapat
mempermudah penerima informasi dalam menginterpretasikan kandungan
informasi yang disampaikan melalui proses komunikasi tersebut sehingga
terciptanya kebersamaan dalam makna.
Kesadaran masyarakat dalam ahli teknologi
Pengembangan
dan alih teknologi merupakan alternatif yang tidak bisa ditolak untuk
menjawab tantangan masa depan kita sebagai bangsa dan negara berkembang.
Namun, pengembangan dan terutama alih teknologi itu dapat menimbulkan
masalah yang luas dampaknya, karena teknologi modern tidak bebas nilai
seperti teknologi tradisional. Pengalaman menunjukkan bahwa teknologi
tidak netral lagi. Teknologi telah sering digunakan sebagai alat
politik, sosial-ekonomi-budaya dan tendensi lainnya untuk menguasai
orang/ bangsa lain. Bahkan teknologi juga sering dimengerti sebagai
tujuan.
Maka
kita tidak boleh ‘buta teknologi’, bukan hanya dalam arti tidak tahu
dan karenanya tidak bisa menerapkannya, melainkan juga mampu mengenali
‘ideologi’ yang berlindung di sebalik kehebatan teknologi modern. Dengan
demikian kita mampu meminimalisasi dampak negatif teknologi modern itu,
baik yang berasal dari penerapannya per se, maupun dalam upaya menolak ideologi yang muncul di sebaliknya, yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Sehubungan dengan itu pantaslah bila Soedjatmoko
( 1986 ) menegaskan bangsa dan negara Indonesia perlu
menumbuhkembangkan suatu perspektif nasionalisme modern, yaitu
‘Nasionalisme Pembangunan’ yang dimaknainya “… suatu nasionalisme
modern, yang tidak picik, tidak rasialis, dan tidak takut kepada dunia
luar atau pengaruh dunia luar – yang tentunya tetap berpegang kepada
rasa harga diri sebagai sebuah bangsa, dan kesadaran akan kepribadian
diri sendiri yang dinamis dan kreatif.”
Sementara itu kita pun perlu mewaspadai peringatan yang disampaikan Soerjanto Poespowardojo
( 1989:88 ): “Teknologi tidak lagi merupakan sesuatu di luar manusia,
melainkan menjadi substansinya. Teknologi tidak lagi berhadapan dengan
manusia, melainkan terintegrasi dengannya, dan bahkan bertahap
menelannya. Transformasi yang terjadi dalam masyarakat modern ini
merupakan konsekuensi dari kenyataan, bahwa teknologi telah memperoleh
otonominya.”
Dialektika ideologi dan teknologi
Dalam
seminar “Pengkajian Permasalahan Pembangunan dalam Rangka Pencarian
Strategi Jangka Panjang” yang diselenggarakan di Jogjakarta, 3 Juni
1989, ahli sejarah Sartono Kartodirdjo
menyarankan agar kita memperhatikan proses dialektika antara teknologi
dan ideologi sebagai dua kekuatan yang membentuk dan mengubah sistem
masyarakat dalam segala aspeknya. Ideologi nasional Pancasila perlu
dimobilisasi, dijadikan etos bangsa guna menanggulangi dampak negatif
teknologi. Jelasnya, ia hendak meletakkan teknologi dalam hubungan
dialektis dengan ideologi Pancasila.
Bagai gayung bersambut, saran tersebut segera mendapat tanggapan dari Isa Ridwan (Konsultan Ahli LIPI-Puspitek) yang akhirnya menimbulkan polemik yang menarik di antara para pakar. Tulisan Isa Ridwan di harian Kompas, 7 Juni 1989, berjudul Ideologi dan Teknologi, ditanggapi antara lain oleh Ignas Kleden (Ideologi dan Teknologi, Kompas 21-22 Agustus 1989), Arief Budiman (Ideologi dan Teknologi, Kompas 6 September 1989), Liek Wilardjo (Imbasan dalam Ilmu, Kompas 15 September 1989, Farid Ruskanda (Ideologi dan Teknologi, Kompas 18 September 1989), Kaelan (Hubungan Ideologi dan Teknologi, Pelita 29 September 1989), F. Budi Hardiman (Teknologi sebagai Ideologi) dan Max Willar (Ideologi dan Teknologi, Basis Februari 1990-XXXIX-2).
Penampilan dialektika ideologi dan teknologi dalam trilogi Hegel
(tesis-antitesis-sintesis) tampaknya perlu dilakukan mengingat
kemampuan ideologi di satu pihak dan teknologi di pihak lain sebagai dua
kekuatan yang membentuk dan mengubah sistem masyarakat dalam segala
aspeknya, sebagaimana sudah dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo.
Dalam tanggapannya, Max Willar sempat mengemukakan pengertian dialektika (Ing. dialectic):
“… istilah untuk falsafah pemikiran yang menekankan pada hakikat adanya
pertentangan dan menyelidiki pertentangan tersebut. Falsafah pemikiran
itu berbeda dengan cara pemikiran yang rasional konsekuen. Metoda
pemikiran dialektik ingin menyatakan diri pada kenyataan yang ada, yang
juga mengakui sikap dialektik; bahwa dalam kenyataan dianggap sebagai
proses perubahan yang dinamik di mana segala pertentangan saling silih
berganti dan silih menyusul.”
Sebagaimana
kita ketahui dari berbagai makna definitifnya, ideologi didasarkan pada
asumsi-asumsi filosofis dan teoritis. Dengan demikian, ideologi dapat
diuji secara logis dan metodologis. Namun pada kenyataannya ideologi
termasuk kategori praktis, karena kebenarannya tidak ditentukan oleh
verifikasi maupun falsifikasi secara metodologis, melainkan didasarkan
pada suatu kriterium relevansi, yaitu apakah ideologi itu dapat memenuhi
kebutuhan praktis (politis) sekelompok orang atau suatu negara.
Suatu
ideologi dapat ditentukan kebenarannya hanya dalam praksis kehidupan.
Dalam hal ini, sekelompok orang dan atau suatu negara dapat menanggapi
ideologi sebagai distorsi, legitimasi, atau integrasi.
Ideologi menjadi distorsi bila ia ditanggapi sebagai pembalikan atau
pemalsuan kenyataan sosial. Setiap sistem kekuasaan menghendaki
kemapanan tidak hanya atas dasar dominasi, melainkan juga atas dasar
suatu jaminan kepercayaan dari pihak yang dikuasai. Untuk menjembatani
kekuasaan dengan kepercayaan dari pihak yang dikuasai itulah ideologi
oleh pihak penguasa diterapkan sebagai konsep yang melegitimasi
kekuasaannya secara efektif. Dengan berfungsinya ideologi sebagai
legitimasi, kekuasaan menjadi mantap, sehingga keseluruhan konfigurasi
sosial tidak dipersoalkan lagi, karena sudah terintegrasi ke dalam suatu
identitas sosial-budaya.
Dari
proses kelahiran dan pemeliharaannya hingga kini, Pancasila jelas
merupakan ideologi yang berfungsi integratif, karena diwujudkan sebagai
kristalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri. Maka
dapat dikatakan, kelahiran Pancasila sebagai dasar negara yang bermakna
integratif, implementasinya bermakna institusional karena penghayatan
dan pengamalannya didasarkan pada posisinya sebagai dasar negara,
ideologi dan ajaran tentang nilai-nilai budaya serta pandangan hidup
bangsa, sedangkan pewarisannya berlangsung melalui sosialisasinya
sebagai kepribadian bangsa. Dalam lingkaran proses itulah Pancasila
dihidupi dan menghidupi bangsa Indonesia.
Sejarah
membuktikan bahwa teknologi pun dapat memperoleh otonominya dengan
mengubah dirinya menjadi ideologi dengan cara: 1) mengubah pandangan
dunia mistis menjadi pandangan dunia mekanis, materialistis, dan teknis;
2) pengaturan kehidupan sosial dilandasi prinsip-prinsip teknologi; 3)
mengganti tindakan-tindakan komunikatif bertujuan etis-praktis dengan
tindakan-tindakan strategis bertujuan teknis.
Sejak
awal kehahirannya pada masa Pencerahan, teknologi telah menghancurkan
mitos-mitos dan pla pikir masyarakat tradisional yang dibatasi oleh
berbagai legitimasi tradisi kebudayaan seperti mitologi, teologi,
filsafat, yang semuanya berfungsi integratif. Pola tersebut disadari
sebagai ideologi dalam fungsi distorsif karena bertentangan dengan
kepentingan Pencerahan yang melahirkan berbagai penemuan yang menjadi
cikal bakal Revolusi Industri. Ideologi yang kemudian muncul sebagai
legitimasi baru mengganti pola tradisional dengan pola modern yang
membentuk sistem integrasi sosial baru, yakni sistem kapitalisme liberal
yang mendasarkan diri pada mekanisme pasar bebas dan serangkaian
prinsip tentang kebebasan lainnya. Negara-negara yang menguasai
teknologi mulai mengadakan ekspansi dan intervensi yang didorong oleh
kepercayaan bahwa ilmu dan teknologi adalah solusi berbagai masalah.
Negara-negara tersebut mendasarkan diri pada teknologi sebagai
legitimasi kekuasaan teknokratis. Dengan demikian, bentuk integrasi
sosial yang terjadi adalah masyarakat teknokratis yang memperluas dan
melestarikan kekuasaannya melalui teknologi. Dalam masyarakat
teknokratis itu hubungan antarmanusia dipermiskin menjadi hubungan
instrumental dan dengan demikian mengabaikan nilai-nilai komunikatif
manusiawi.
Oleh
karena itu, dalam upaya pengembangan dan alih teknologi, kita perlu
mengadakan refleksi apakah teknologi itu kemudian muncul sebagai
ideologi, sikap, cara dan gaya hidup, yang melakukan infiltrasi,
penetrasi atau bahkan invasi terhadap orientasi nilai-nilai budaya dan
pandangan hidup bangsa kita. Refleksi dan orientasi itu mesti diwujudkan
pula dalam kesadaran sedemikian rupa agar ilmu dan teknologi dapat
disikapi sebagai kenyataan budaya yang sangat berharga dan dibutuhkan
dengan tetap mempertahankan fungsi dan peranannya sebagai sarana demi
kepentingan manusia seperti disarankan Soerjanto Poespowardojo
( 1989:86 ): “Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkan
kemajuan teknologi, kesadaran religius, budaya, dan ilmiah perlu
ditanamkan dan dinyalakan, karena dengan demikian orang mendapatkan
motivasi kuat untuk menentukan sikap dan menjalankan kegiatannya secara
terbina dan terarah.”
Menyadari kemampuan metamorfosa teknologi sebagai ideologi, Farid Ruskanda ( 1989 ) mengusulkan penambahan ideoware ke dalam rangkaian technoware (peralatan), infoware (informasi), humanware (sumber daya manusia), dan orgaware (organisasi). Ideoware
merefleksikan ideologi dan cita-cita pembangunan suatu bangsa secara
operasional dalam proses pengembangan, pengalihan maupun pengendalian
perkembangan teknologi.
Semestinya
pemindahan suatu sistem atau pola yang berasal dari kebudayaan asing ke
dalam kebudayaan Indonesia memang harus dapat dilakukan tanpa banyak
masalah dalam kaitan perbenturan budaya bila pengisiannya disesuaikan
dengan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Pada umumnya dapatlah
dikatakan bahwa di masa lampau bangsa Indonesia telah membuktikan diri
sebagai bangsa yang cukup kuat kepribadiannya. Haryati Soebadio
( 1988 ) mengatakan bahwa: “Banyak unsur asing yang telah memasuki
kehidupan budaya bangsa kita, namun unsur asing itu telah diserap dan
terintegrasi dalam kebudayaan Indonesia sedemikian rupa hingga membentuk
sesuatu yang menjadi khas Indonesia, berarti merupakan unsur kebudayaan
Indonesia secara wajar. Kesanggupan bangsa kita itu pernah dinamakan
‘local genius’ oleh sarjana asing …” (Istilah local genius diperkenalkan oleh tokoh arkeologi Quatrich Wales dalam bukunya berjudul “The Making of Greater India: A Study in South-east Asia Culture Change”. Istilah itu dirumuskannya sebagai: “The
sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people
have in common as a result of their experiences in early life.”)
Peninggalan
sejarah bangsa seperti candi Borobudur yang unik di dunia (tidak
ditemukan di tempat lain) adalah salah satu contoh perwujudan local genius
yang dimaksudkannya. Kita mengetahui bahwa candi Borobudur dipengaruhi
budaya India. Demikian pula dengan seni musik keroncong (masukan dari
seni musik Portugis), corak batik pesisir utara Jawa (masukan dari motif
China dan Belanda), yang telah berkembang sedemikian rupa hingga
menjadi milik khas Indonesia.
Sumber :
http://ruhcitra.wordpress.com/2008/10/25/masalah-pengembangan-dan-alih-teknologi/
http://wsmulyana.wordpress.com/tag/alih-teknologi/